Monday, May 11, 2009

Belajar Peka dan Sadar Diri (menggarisbawahi : muda-mudi Tiong Hoa peranakan Indonesia)

One of my favorite public figure is Martin Luther King jr. Juga seorang Mahatma Gandhi...
mereka adalah pembela kemanusiaan dah penyetaraan hak asasi manusia. Lucunya konflik yang mereka hadapi seolah-olah masih terus ada dalam artian belum mereda 100% di titik-titik konflik masyarakat di belahan dunia ini.

Sebagai kaum minoritas sepertinya ada sistem kehidupan kita yang menjadi tumpul atau memang berkurangnya sifat menjadi peka. Kita kaum tiong hoa tidak belajar banyak dari berbagai hal, atau justru menutup mata serta memalingkan wajah dari realita kehidupan yang terjadi dilingkungan sekitar sebagai bukan urusan yang mendesak atau penting untuk diperbaiki. Kita semua manusia sama, maka tidak perlulah kita merasa diri terlalu jauh berbeda. Ada suatu saat kelak tiada seorang pun melihat perbedaan itu.

Doktrin bahwa kaum tionghoa itu kaya-kaya. Cenderung seolah-olah memberikan hak pada keluarga kaya meninggikan derajat diatas orang lain, persaingan selalu berpusat pada ekonomi, dan berapa besar rumah atau berapa banyak mobil yang dimiliki. Ada yang seperti itu? Ada. Dan kenyataannya masih banyak pula orang tionghoa yang hidup miskin, hidup hanya tergantung dari menjual wedang kembang tahu yang dipikul juga ada, atau menawarkan mochi buatan tangan dari rumah ke rumah. Maka bersyukurlah Anda bila dilahirkan di keluarga yang mampu.

Hanya saja degradasi perilaku yang terjadi sangat banyak terjadi namun tidak segera diperbaiki. Itulah titik yang saya tekankan pada sikap tidak peka. Tidak peka terhadap lingkungan, tidak peka terhadap kondisi tiong hoa, tidak peka terhadap fenomena, tidak peka terhadap diri sendiri pula. Sikap yang pragmatis-apatis ditambah lagi HEDONIS merambah ke hampir semua orang zaman sekarang.

Benar kita telah dikurung oleh orba dengan berbagai peraturan yang menyulitkan orang tua kita serta sesama orang tionghoa di seluruh Indonesia, kalau Anda tidak bisa merasa empati dan merasa bahagia dengan sedikit kebebasan yang telah diberikan semasa pemerintahan Gus Dur, maka hiduplah Anda tanpa menghargai sejarah orang tionghoa yang ada di Indonesia. Ingat sejarah kita di Indonesia tidak sama dengan sejarah leluhur yang berada di Tiongkok sana, karena kita sebagian besar lahir, hidup, dan mati di Indonesia sebagai Tionghoa peranakan Indonesia. Mungkin sebagian besar anak-anak tionghoa 7-10 tahun dibawah saya tidak tahu perjuangan hidup orang tua mereka.

Pengalaman menyakitkan selama orba bukan untuk dijadikan balas dendam, apalagi dengan cara yang salah sampai keenakan jadinya malas berubah. Contoh pengalaman nyata selama zaman orba (sebelum 1998), waktu SMP saya pergi berjalan kaki ke sekolah (benar, walaupun orang tua saya mampu, saya tetap disuruh berjalan kaki, tidak diantar naik mobil seperti kebanyakan anak-anak manja sekarang). Dalam perjalanan saya melewati SD negri yang tentu saja mayoritas non tionghoa atau barangkali tidak ada tionghoa sama sekali, tiba-tiba banyak anak-anak kecil menyerobot ingin melihat saya dari balik pagar sekolah sambil mengatai saya "cino asu! cino asu!" ("Cina anjing! Cina Anjing!"). Wah, apa salah saya ya? Mengenal mereka saja tidak. Entah kenapa saya yakin, banyak orang tionghoa lain yang mungkin memiliki pengalaman yang sama dengan saya dan mungkin banyak yang memiliki trauma dan sakit hati.

Hanya saja kebencian orangtua diturunkan kepada anak, sehingga memberikan jarak antar berbagai ras yang pluralitas di Indonesia ini. Hanya karena kondisi sekarang sudah enak, kita tidak bisa memungkiri bahwa mungkin masih ada, karena jangka waktu 10 tahun itu masih terlalu singkat. Kita lihat saja pada zaman Martin Luther King Jr, kebencian ras kulit putih terhadap ras kulit hitam yang dianggap budak sangat mengerikan. Bahkan sampai sekarang mungkin sedikit banyak masih ada walaupun sudah ditekan ke titik paling rendah, buktinya kalau kita bilang "negro" di Amerika ke orang kulit hitam lebih mungkin Anda ditonjok sampai babak belur daripada ditegur saja.

Kalau kita merasa aman-aman saja bersikap seenak udel sendiri, maka ingatlah pada Tragedi Mei 1998. Kalau kita memiliki kekuatan atau menunjukkan bahwa kita juga salah satu kekuatan di negara Indonesia ini, kita tidak akan ditindas seperti pada masa-masa itu. Kejadian itu adalah sesuatu yang harus kita waspadai pada pola pikir bahwa kalau kerusuhan mau bakar siapa? (ayolah, berpikir sedikit). Empati "kasihan ya?", "kurang ajar tenan!", atau "biadab!" yang hanya diiringi emosi tapi tidak mampu memberikan penyelesaian masalah, empati itu hanya akan menjadi kata-kata. Kita hanya akan dibakar lagi.

Ada juga pola pikir seperti kalau ada yang mengancam keberadaan kita di Indonesia, lari saja ke luar negeri karena bisa. Tapi seberapa banyak orang yang bisa kita bawa? Itu adalah pemikiran egois, karena dimana pasti ada keterbatasan, kalau salah seorang adik/kakak kita tertinggal di Indonesia dan menghilang untuk seterusnya? Itu adalah penderitaan seumur hidup karena kita tidak bisa menyelamatkan lebih banyak orang. Di negeri lain pun tidak menjadi siapa-siapa kalau di negara sendiri tidak diterima. Karena itu mari mulai belajar hidup yang baik dan benar, rendah hati, serta pola hidup yang dilandasi kerja keras dan berderma.

Anak-anak tionghoa yang 3-4 tahun kebawah saya memiliki pola pikir yang kadang saya tidak mengerti lagi. Maaf saja kalau saya mengatakan mereka sebagai kaum yang terjangkit penyakit hedonis, dan mereka dalam fase yang kritis. Di malam hari ketika membeli buah, saya lihat dipinggir jalan mereka memarkirkan mobil yang sudah dimodifikasi sambil pasang audio SPL keras-keras, dan yang mereka lakukan adalah ngobrol-ngobrol atau melongo sambil ngerokok. Seperti gelandangan elit. Atau anak-anak SMA yang pulang pergi sekolah diantar naik mobil atau naik mobil sendiri seolah-olah merekalah yang membeli mobil itu dengan uangnya sendiri, padahal membeli uang bensin saja tidak mampu.

Atau terkena sindrom sinetron, contoh ketika saya makan malam di resto E-plaza bersama teman, tiba-tiba ada sedikit keributan. Sepasang cewek-cowok ribut dengan seorang cowok. Cowok itu dengan gaya sok tangan dimasukan satu ke saku dan yang satunya menarik kereta dengan kasar. Well... cinta segitiga (toh kelihatan sekali). Oh... bangga sekali ya kelihatan keren dan menarik perhatian pengunjung dengan mengheboh-hebohkan perseteruan pribadi ditempat umum? Pacaran masa SMU kok sinetron banget. cape deh... Untung gak gontok-gontokan. Dan dari penampilan mereka yang kayak selebriti (wow... SMU sekarang sudah bisa semir rambut), kayak artis dan ceweknya berdandan manis kayak bintang film Taiwan, kalau aku cowok seh emang seneng aja tapi kalau ngeliat kejadian kayak gitu ilfil dah. Ah... Anak orang mampu kok IQ gak kepake gitu. Heran suatu hal yang privasi seperti tidak memperlihatkan masalah pribadi di tempat umum kan jangan terlalu di-hiperbolakan.


Siapa yang mereka bohongi? Semua orang tahu kalau mobil, perhiasan, uang saku, fashion, dsb yang mereka nikmati adalah hasil kerja susah payah orang tua mereka bekerja. Tidak ada penghargaan untuk "hard earning money" (beratnya mencari uang), entah itu usaha orang tua mereka memang lancar, tapi untuk mempertahankan kelancaran usaha juga menghabiskan pikiran dan waktu juga.

Lucunya banyak yang menganggap "aku kaya". Sekolah cuma hiburan atau mengisi kewajiban saja, bukti nyata seorang teman yang masih kecil (maksudnya masih kuliah awal semester), dengan setia absen dari kelas kuliah untuk pulang pergi ke semarang hanya menjajakan hadiah-hadiah untuk pacarnya dengan uang sakunya sendiri. Hasilnya dia selalu bokek tapi tetap sok. Bukti nyata lain, seorang teman orangtua mengeluh dan marah pada anaknya, karena ketika bepergian sang anak (yang belum bekerja), berkata pada orangtuanya akan membayari mereka makan. orangtuanya marah dan mengatakan "memangnya kamu sudah kerja dan punya uang untuk bayarin kita makan?!" Toh kalau anaknya nraktir orangtuanya makan kan itu uang transferan dari orangtuanya sendiri.

Enaknya jadi mahasiswa atau murid sekolah ya? Uang ditransfer orang tua. Tentu saja sebebas mungkin dipakai untuk apa pun bisa sambil berbohong untuk beli buku tapi kenyataanya dibuat pergi ke diskotik atau foya-foya maen game center. Itu terjadi? Iya itu terjadi. Kalau ditanya sebenarnya impian dan cita-citanya besok mau kuliah dimana/kuliah/kerja apa kadang nggak bisa jawab. Terlalu memikirkan apa yang ada sekarang, tapi tidak memikirkan masa depan.

Di zaman pendidikan seharusnya semakin meningkatkan kesadaran manusia akan hal yang salah dan benar, malah sifat bandel dan sok begini begitu malah menjamur. Jadinya yang ada manusia-manusia bebal dengan nasehat dan terus bertindak seenaknya sendiri. Tidak hormat pada orangtua, tidak menghargai uang yang dihasilkan kerjakeras orangtua untuk memakmurkan anak. Cerita nyata, seorang anak SMU yang ngambek karena orang tuanya tidak mau memberikan uang buat modifikasi motornya seharga 15 juta, memukul palu ke kaki papanya dan memukul dengan tongkat golf sampai rusak. Melihat wajah orangtua itu ketika suatu kali bertemu, tampak tidak tega.

Pola pikir kalau toh besok aku adalah penerus usaha keluargaku. Kalau keenakan dan asyik sendiri tau nasibnya besok pasti jadi orang kaya, toh orangtua sudah kaya, itu harusnya dihindari, karena bisa menjadikan malas kuliah dan belajar, mau jadi penerus pun Anda sudah menjadi kapal karam Titanic. karena pengalaman orangtua yang merintis dengan orang yang langsung pegang sudah jalan berbeda. Sama ketika kita mengendarai mobil tapi tidak tau caranya starter mobil, ketika mobilnya mogok ya sudah tamat riwayatnya.

Ingat pada saudara-saudara lain yang masih hidup kesusahan, jangan memberikan jarak dan kesenjangan sosial terlalu tinggi. Mereka membutuhkan kita juga seperti kita membutuhkan mereka. Bagi yang masih kekurangan pun berhak mengingatkan kerendahan hati dalam hidup, juga tidak patah semangat karena semangat hidup dan kerja keras ada dalam diri kita masing-masing.

note:
tulisan ini hanyalah bentuk prihatin dan kekhawatiran terhadap semua adik-adik saya di seluruh pelosok Indonesia, bahwa bangkitlah dan tunjukkan kemampuan bukan harta semata atau hanya embel-embel "tionghoa itu kaya". Kekayaan itu adalah daging bukan otak, kalau kita hanya memiliki daging, maka kita hanya akan disembelih untuk memberi makan orang lain. Bila kita adalah otak, kita akan dibutuhkan banyak-banyak orang.