Tuesday, March 3, 2009

For Greater Good (about Pilpres and how they advertise)

Iklan-iklan Pilpres yang bahkan mendahului caleg sudah mengalami repetisi kampanye yang serupa dari waktu ke waktu. Dalam majalah Tempo dikatakan sepanjang jalan banyak sekali poster-poster, spanduk-spanduk dan media kampanye lainnya, namun yang dia ingat justru iklan XL yang menampilkan gambar simpanse. Weird right? Karena yang ditampilkan adalah tampilan seragam, yang berjilbab, yang diurai, yang berpeci, merah, kuning, hijau, semuanya memiliki tampilan yang sama. Foto itu sama seperti ketika kita sedang membuat pas foto, dengan terpaksa kita sedikit senyum supaya lebih manis daripada cemberut seperti foto napi. Tidak ada istimewanya, tidak ada yang menarik, dan tidak ada yang bisa dihebohkan walaupun mereka mencantumkan gelar-gelar sangat keren seperti Mcs atau PhD. Alhasil melihat simpanse tersenyum adalah hal yang berbeda sehingga kita menjadi ingat.

Belum lagi dampak yang dihasilkan dari kampanye gak berguna itu. Mereka mengotori tempat, memaku disembarang pohon, menempel dan menghamburkan kertas (yang lama-lama semakin mahal!!!) di tembok-tembok rumah orang dengan atau tanpa izin. Mungkin ada yang bisa memanfaatkan hal itu ya, tukang jual makanan seperti tukang jual kacang atau gorengan mungkin, dijadikan bungkus makanan begitu.

Seandainya para calon legislatif atau pun calon presiden yang berkampanye menyadari, atau tim suksesnya, sepertinya mereka harus think out from the box. Mengkampanyekan calon legislatif atau presiden sama sekali berbeda dengan mengkampanyekan barang dagang atau jasa atau acara. Poster? OK! Selebaran? OK! Stiker? OK! Baliho? OK! Tapi rasanya ada yang kurang... walaupun sudah jor-joran keluar duit untuk membuat semua itu di seluruh daerah atau di seluruh Indonesia, kalau tenyata hasilnya malah membuat orang bingung terus bagaimana? Padahal sudah keluar uang sangat banyak.

Uang jor-jor an itu bisa menjadi bibit korupsi ketika si caleg atau capres sudah terpilih. Logika saya dan teman saya, semua promosi diri itu membutuhkan banyak uang, bahkan bisa jadi mereka berhutang dll. Nah, kalau mereka sudah terpilih jadinya ada kemungkinan korup.

Dari bincang-bincang dari teman, saya baru dengar ada caleg yang belum lulus dari S1. Ini gila. Kalau memang nanti yang dipilih itu tidak lulus S1, sama saja orang bodoh mempimpin orang bingung. Lebih gilanya lagi, mencalonkan karena mereka taunya kalau jadi pejabat gitu tuh dapet duit gajinya banyak. Kalau kualitas gak ada, mereka bakal jadi calon pemimpin bagaimana? Seperti PNS yang rela menyuap bayar berpuluh-puluh juta supaya mereka bisa kerja enak (katanya), idealnya kalau punya duit berpuluh-puluh juta buat beli pekerjaan, kenapa gak dipakai untuk membuat pekerjaan? Bekerja sendiri akan lebih bebas dan enak kan?

Kalau pendapat pribadi, kenapa calon legislatif tidak berpidato dan membuat tanya jawab terbuka dengan calon rakyat yang akan mereka pimpin?
Demikian pula dengan presiden, kenapa tidak kita biarkan mereka berpidato dan membuat debat terbuka ditampilkan di seluruh stasiun televisi Nusantara, sehingga baik yang berada di tempat langsung dan semua masyarakat Indonesia dapat melihat, mendengar, dan menentukan pilihan kepada siapa mereka akan memilih. Hasilnya dibayangkan seperti ini, seorang Presiden yang dipilih mutlak oleh masyarakatnya, dan dicintai oleh masyarakatnya.

Kenapa? Selain mereka berpromosi, kita juga bisa melihat kualitas dari capres yang kita pilih. Kita juga bisa menyeleksi capres-capres yang tidak berkualitas. Kalau hal seperti itu tidak dilaksanakan sejak dulu, mungkin para capres takut ketauan bosoknya kali ya? Mereka cuma berani berkata-kata dan mengobral janji diatas kertas supaya tidak bisa didebat, membiarkan para pendukungnya yang ribut sendiri mempertahankan "idola"nya. Akhirnya masyarakat tetap menjadi masyarakat bingung...

semoga semua makhluk berbahagia~

No comments: